Bias Demokrasi Lokal
Oleh: Marwanto
Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota atau pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan pemilu nasional yang digelar di daerah. Pernyataan tersebut bukan hanya merupakan sindiran atas pelaksanaan pilkada, tapi juga kritik yang patut kita renungkan.
Memang, sejak era desentralisasi digencarkan pasca bangkrutnya rezim otoriter-sentralistik Orde Baru, daerah punya dinamika politik yang relatif otonom. Salah satunya lewat momentum pilkada. Dari sinilah sejarah pilkada di tanah air mesti dilihat dan dicermati. Jadi, pelaksanaan pilkada di Indonesia bukanlah a-historis.
Pilkada langsung pun digelar sejak diberlakukan Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2004. Meski eksistensi pilkada langsung sempat terancam, karena Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 26 September 2014 mengesahkan revisi UU Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tapi berkat perjuangan gerakan pro-demokrasi akhirnya pelaksanaan pilkada langsung dapat dipertahankan. Kini, bangsa Indonesia bisa menikmati kembali hingar-bingar demokrasi lokal.
Tapi apakah pilkada langsung yang sudah berlangsung sepuluh tahun di negeri kita mencerminkan demokrasi dan otonomi politik lokal? Untuk menjawabnya perlu memahami konsep desentralisasi sebagai dasar argumentasi ilmiah pelaksanaan pilkada.
Menurut Rondinelli (1981), desentralisasi merupakan “transfer of political power”. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah.
Rondinelli membagi empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam praktek, yaitu: dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi. Dari empat macam desentralisasi tersebut, Pilkada dilaksanakan untuk mengoptimalkan proses devolusi, yakni kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Selebihnya ada tiga ciri devolusi.
Pertama, adanya unit-unit pemerintahan lokal (UPL) yang otonom, dimana di dalamnya mereka menjalankan fungsi publik. UPL tadi punya status hukum dan kekuasaan untuk mengamankan sumberdaya yang dimiliki daerah.
Kedua, UPL merupakan institusi dan arena politik yang lebih dekat dengan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, UPL bukan untuk membuat negara di tingkat lokal, tapi lebih pada mendekatkan fungsi dan peran negara di tingkat masyarakat lokal.
Ketiga, UPL punya hak dan tanggungjawab mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Identik dengan dua fungsi negara: law and order (keamanan, ketertiban, melindungi warga) dan social welfare (mengelola sumberdaya, pelayanan publik, kesejahteraan).
Pilkada dilaksanakan dalam semangat desentralisasi politik, agar devolusi dapat bekerja optimal di bawah kepemimpinan daerah hasil pilihan langsung rakyat. Selaras tesis Rondinelli (Teguh Kurniawan: 2009), bahwa salah satu faktor yang memengaruhi implementasi desentralisasi adalah kualitas kepemimpinan. Pilkada adalah proses elektoral yang bekerja di aras lokal yang menuntut institusi lokal, baik penyelenggara maupun peserta, berperan secara mandiri (otonom).
Dari sisi penyelenggara, kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah sebagai penyelenggara pilkada, mesti dimaknai tidak dapat diintervensi kepentingan politik. Namun dalam hal regulasi, karena sesuai UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, sifat KPU itu hirarkis, maka dalam hal regulasi KPU di daerah hanya menjalankan UU maupun Peraturan KPU.
Sedangkan, kemandirian dari sisi peserta pilkada, seharusnya bisa lebih dari itu. Maksudnya, memang partai politik di Indonesia itu (kecuali di Aceh) adalah “milik” Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Namun dalam rangka rekrutmen calon untuk mengikuti kontestasi pilkada semestinya bisa lepas dari otoritas DPP. Dengan kata lain, devolusi itu sebenarnya bisa diberikan pada peserta pilkada (partai politik), namun tidak untuk penyelenggara pilkada (KPU di daerah).
Tapi selama ini, fakta menunjukkan kewenangan DPP menentukan calon yang akan maju Pilkada masih sangat kuat. Dengan kata lain, dinamika dan otonomi politik lokal belum terwujud sepenuhnya. Jika Pilkada masih didominasi peran aktor politik pusat, maka yang terjadi tak lebih “pemilu nasional” yang digelar di daerah. Disinilah bias demokrasi lokal sedang terjadi.
Dalam rangka meminimalisir bias demokrasi lokal, urgen dilakukan reformasi tata kelola partai politik. Desentralisasi pengambilan kebijakan saatnya diserahkan ke pengurus parpol di tingkat lokal. Peran DPP lebih pada isu-isu politik nasional, disisi lain otonomi pengurus parpol tingkat lokal diperkuat. Harapannya, rekrutmen politik di tingkat lokal dalam rangka kaderisasi kepemimpinan akan berjalan optimal. ***
Marwanto, Wakil Ketua Bidang Politik DPD KNPI DIY,
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta, sedang menulis tesis tentang “Dinamika Rekrutmen Politik: Studi Kasus Rekrutmen Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Partai Amanat Nasional pada Pemilukada Kulonprogo Tahun 2011”
Bagikan:
Telah dilihat 3,572 kali